Rabu, 18 Mei 2016

Makanan dan Sertifikat Halal

Lagi ramai tentang produk ber SH MUI.
Banyak yg memandang sinis kepada mereka yg berusaha wara', berhati2 dalam menjaga apa yg mereka konsumsi. Ada yang mengatakan lebayy, ada juga yang berkata, "kok hidupnya  ribet banget sih. mau makan aja cari sertifikat halal dulu. Yg dimakan kan makanannya, bukan sertiffkatnya". Astagfirullah;
Menurut pendapat saya pribadi, mereka hanya berusaha menyampaikan apa yag diketahui, bukankah dianjurkan untuk menyampaikan suatu perkara meskipun itu hanya satu ayat? soal anda mau ikut atau tidak, itu urusan anda, yg pasti kewajiban sesama muslim untuk saling mengingatkan sudah gugur.
Kami (saya saya keluarga) pribadi, jujur masih sering 'kebablasan', makan tanpa memperhatikan aspek kehalalannya hanya karena  'terlihat' halal.
Tapi paling ga, kami sedang berproses. kami berusaha untuk menghindari makanan yang belum terjamin kehalalanya. salah satu alasan Berusaha membuat sendiri cemilan- cemilan buat anak-anak terutama setelah membaca tingginya titik kritis kehalalan pada bahan-bahan bakery. Tapi lagi-lagi, kami pun masih berproses.
Terkadang saat mampir di warung makan pinggir jalan, sebelum mulai memesan, suka nengok dulu dapurnya  (yang biasa berada di bagian depan) melihat, bumbu apa yang digunakan. Malah pernah bertanya ke juru masaknya, "pake ang ciu ga?" dijawab, "kalau ga mau pake, bisaa" yang berarti, jika kita tidak bertanya, masakan tersebut memakai ang ciu 😢. Begitu juga kepada anak-anak. sejak kecil, kami biasakan mereka untuk mengecek label halal dari setiap makanan kemasan yang mereka beli.
 Ribet? mungkin iya. Tapi jika dilakukan semata-mata karena mengharap Ridho Allah, insyaAllah ga ribet.
Belum ber SH bukan berarti Haram kan? Betul sekali. Tapi tanpa SH, tak ada jaminan apakah makanan itu halal atau tidak. Dan jika sesuatu itu meragukan, sebaiknya tinggalkan
*Dari Abu ABdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka, barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa dia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).*
Bukan karena kami merasa sok suci, sok alim atau sok-sok yang lain tapi perkara halal dan haram bukan sekedar urusan perut, bukan hal yang bisa dianggap sepele.
Didalamnya mencakup tentang doa2 yang tidak terkabul. jika Doa kepada Allah terhalang karena perkara haram, lalu kemana lagi kita akan meminta?
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)
Dan yang pasti, aturan itu sudah secara tegas tercantum dalam al Quran.
Perkara ini menyangkut perintah sang Pencipta atas ciptaannya. sami'naa wa Atho'na. kami dengar dan kami taat
QS Al Baqarah: 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Kami yakin, dibalik larangan2 itu ada hikmah besar yg mungkin blm kita ketahui. Tapi ketidaktahuan itu bukan jadi alasan untuk tidak mematuhinya.
Bukankah yg paling tau tentang sesuatu benda adalah Penciptanya?
Ibarat ponsel canggih kita. Bukankah yg paling paham perlakuan yang aman dan yg bisa merusaknya tak lain dan tak bukan adalah produsennya? pabriknya?
Jika kita bisa taat terhadap aturan pakai yg tercantum  di brosur elektronik kita tanpa harus tau alasannya,
kenapa kita begitu berat menaati aturan yang telah ditetapkan oleh Pencipta kita? bahkan memandang remeh.
Ingat, yang haram ataupun syubhat tidak otomatis menjadi halal hanya karena anda membaca basmalah sebelum memakannya.
Wallahu A'lam Bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar